Kerja seharian mengurus
rakyat memang bikin lelah tubuh dan jiwa. Sore hari menjelang malam, saya
menikmati waktu sengang bersama isteri tercinta. Para pengawal mengawasi
anak-anak bermain. Saya dan istri menyaksikan kegembiraan anak-anak, sambil
meneguk Juice Apel, iringan musik Country
mengalun mendayu-dayu, mengingatkan saya pada masa muda dulu. Sebelum jadi
penguasa negeri ini, kepala daerah
“Sayang,
hari ini saya ingat mama saya di kampung. Saya sudah tidak pernah mendengar
lagi kabar mereka sejak saya menjadi PNS hingga sekarang jadi kepala daerah.
Saya sangat rindu saya punya mama, sampai kepala saya pening,”tuturku kepada
sang belahan jiwa yang duduk manis dalam rangkulan, dengan singlet merah jambu
menggoda dan kaca mata riben menghiasi wajahnya yang hitam manis itu.
Saya
berusaha mengatasi rasa rindu kepada mama dengan membelai sang belahan jiwa di
samping. Rasa rindu sedikit terobati, tapi tidak bisa menghapus rasa rindu akan
mama yang jauh di kampung.
Mataku
terus kemana-mana mencari mama, sambil membelai belahan jiwa yang manja-manja
membangkitkan hasrat dan menjadi penawar jiwa yang lelah itu. Tiba-tiba seorang
pengawal datang mendekat, penjaga pintu pagar utama itu pasti membawa sesuatu
yang penting, sehingga berani-beraninya mengganggu waktu syahdu kami.
“Permisi
bapa, ini ada surat dari kampung,”tutur sang pengawal dengan sopan,
hormat ala keraton Jawa.
“Ade…terima
kasih e…,ko taru saja di meja sini,”tuturku sambil merasakan nikmatnya
sentuhan-sentuhan halus dari tangan sang kekasih yang kini menjalari sekujur
tubuh. Saya membawa surat sambil mengandeng mantan pacarku itu menuju kamar.
Entah
kenapa, saya punya firasat buruk terhadap isi surat itu. Dugaan; surat itu
berisi kisah sedih tentang mama di kampung. “Ah.. saya tidak mau lagi membuka
lembaran kisah sedih. Saya tidak mau menambah kesedihanku,”gumamku. Sepuluh
menit berlalu, surat itu hanya saya genggam saja, tetapi rinduku sama ibunda
juga yang akhirnya membuat tanganku untuk membuka sampulnya dan mulai
membacanya.
“Kepada
Yang Terhormat anak kepala daerah,” mama menyapa dan memulai cerita hidupnya di
kampung halaman. Saya membaca kalimat ke kalimat dan paragraf ke paragraf
mengalirkan kisah mama ini.
Saya
mengutip mama menulis : “Anak, ibu beserta adik-adik-mu hidup di rumah kini
tidak seperti dulu, selagi ayah masih ada. Kalau dulu, kita bisa makan sehari
tiga kali dengan asupan gizi yang cukup. Kini situasi berubah, makanan kami
seadanya, sehari dua kali atau sekali saja tetapi mama bersyukur bersama
adik-adikmu bisa makan daripada tidak sama sekali”.
Saya
tertegun, berhenti membaca dan menatap surat itu lekat-lekat. Di sela-sela
ingatan itu, jiwaku terbang membayangkan nasib mama. “Mengapa keluargaku
mengalami nasib sial itu?Apa yang salah dengan mereka?” Saya membiarkan diriku
menyoal dan melanjutkan kisah mama:
“Sayang….
mama harus mencari nafkah, sejak bapamu menghembuskan nafas karena tubuhnya
tertembus timah panas dalam upacara peringatan hari hak-hak masyarakat pribumi
di lapangan depan sekolahmua, beberapa tahun lalu. Apakah kamu masih ingat
kisah itu?”tanya Mama.
Hatiku
luluh, membisiki jiwaku untuk memberontak, ingin berteriak histeris
mengungkapkan kebencian dan kesedihan di ruang itu, namun kesadaran dan
imajinasiku membisik jiwa yang memberontak mengendalikan emosi untuk tidak
bertindak kejam dan menangisi ayahku yang telah lama tidur karena peluru
serdadu, 9 Agustus 2008 lalu.
“Saya
tidak perlu menangisi ayahku tetapi menangisi dan mendoakan mereka yang kejam
terhadap ayah serta mendoakan ayahku agar memperoleh pengampunan, perdamaian,
keselamatan, ketenangan Jiwa dan menikmati kebahagian abadi bersama Tuhan dan
dari sanalah ayah mendoakan mereka yang telah jahat kepada dirinya, yang tidak
berdosa itu,”gumamku.
Saya
masih mendengar mama berkisah hidup. “Sayang kami makan seadanya, itupun hasil
kebun bapamu sebelum tima panas menembus tubuh, menghabisi jiwanya, dan
mengambil dari hutan yang belum rusak akibat hutan yang dibabat, tambang dan
kebun kelapa sawit” tulis mama.
Jiwaku
kini basah oleh tangisan, hati luluh, tubuh gemetar. Getaran tubuh tidak ku
tahan. Aku berusaha terus menghela nafas dan mengedalikan jiwa yang bergetar
menyoal lagi nasib mama. “Setelah kebun itu dipanen habis, hutan dibabat habis,
adik-adik dan mama makan apa? Bagaimana perjuangan mama untuk kebutuhan sekolah
adik-adiku nanti?”
Saya
berhenti merenung. Mama masih bertutur melalui surat. “Anakku…demi memenuhi
kebutuhan sekolah, mama terpaksa harus menjadi ‘ayah’ sekaligus ibu bagi
adik-adikmu. Mama membawa jualan di pasar mama-mama yang ada di kota Jayapura
tetapi tidak mudah seorang mama Papua menjadi pedagang sayur. Mama harus
berjuang mendapatkan tempat yang layak hingga berjuang merayu pembeli. Syukur,
kalau ada yang mau beli. Kadang sulit karena pembeli lebih pilih ke swalayan
yang tumbuh berjamur di kota ini…
Sementara,
anakku sayang, perjuangan mendapatkan tempat jualan yang layak memang rasanya
sulit. Mama berjuang sejak tahun 2007 sampai hari ini tahun 2014, mama masih
jualan di bawah tenda dan meletakkan di atas tanah. Kalau hujan, tempat ini
penuh dengan air dan kami libur jualan. Kalau itu yang terjadi, anak sudah
tahu, mama tidak bisa memberi makan adik-adikmu, mama tidak bisa menyimpan uang
sekolah untuk adik-adik. Sayang, itu sudah mungkin nasib mama yang malang ini.
Mama
memang merasa sulit dan tidak berdaya menjalani pekerjaan jualan sayur tetapi
mama bersyukur dengan bekerjaan seperti ini bisa mengumpulkan 50 ribu sehari.
Penghasilan ini saja, mama bisa memenuhi kebutuhan makan bersama adik-adikmu
sehari. Kalau tidak bagaimana dengan makan sehari ini, yang ada hanyalah
pergumulan dan penderitaan dan akhirnya menunggu waktu ajal menjemput. Karena
terus hidup seperti ini, mama jadi berpikir “Ah hidup ini tidak memihak, Allah
jahat, pemerintah jahat, lebih baik mati bunuh diri saja, tetapi bagaimana
nasib adik-adikmu nanti? Pergumulan mama dengan nasib adik-adikmu itu saja yang
selalu menguatkan dan menabahkan mama menjalani hidup ini. Kalau jujur, mama
bisa mengatakan menjalankan hidup ini dalam keterpaksaan saja”.
Saya
masih mau mendengar mama berkisah tetapi mama mengahiri suratnya. “Anak, mama
mau berbagi lebih banyak cerita lagi, tetapi kiranya cukup sekian dulu. Kalau
terlalu banyak curhat, mama khawatir menganggu perjalananmu, selama menjadi
pemimpin negeri ini. Sayang selamat memimpin negeri. Mama akan terus mendoakan
anak dari balik gubuk derita ini tetapi anakku, mama hanya mau bertanya… Kenapa
susah sekali anak menjawab kebutuhan kami, membangun pasar, mengungkap pembunuh
bapamu yang sampai hari ini belum diadili ?
Apakah kami harus menanti sampai Tuhan datang menjawab harapan kami?”.
0 komentar:
Posting Komentar