Rabu, 30 Juli 2014

KETIKA PENGUASA MENANGIS, MEMBACA SURAT MAMA

Kerja seharian mengurus rakyat memang bikin lelah tubuh dan jiwa. Sore hari menjelang malam, saya menikmati waktu sengang bersama isteri tercinta. Para pengawal mengawasi anak-anak bermain. Saya dan istri menyaksikan kegembiraan anak-anak, sambil meneguk Juice Apel, iringan musik Country mengalun mendayu-dayu, mengingatkan saya pada masa muda dulu. Sebelum jadi penguasa negeri ini, kepala daerah


“Sayang, hari ini saya ingat mama saya di kampung. Saya sudah tidak pernah mendengar lagi kabar mereka sejak saya menjadi PNS hingga sekarang jadi kepala daerah. Saya sangat rindu saya punya mama, sampai kepala saya pening,”tuturku kepada sang belahan jiwa yang duduk manis dalam rangkulan, dengan singlet merah jambu menggoda dan kaca mata riben menghiasi wajahnya yang hitam manis itu.
Saya berusaha mengatasi rasa rindu kepada mama dengan membelai sang belahan jiwa di samping. Rasa rindu sedikit terobati, tapi tidak bisa menghapus rasa rindu akan mama yang jauh di kampung.
Mataku terus kemana-mana mencari mama, sambil membelai belahan jiwa yang manja-manja membangkitkan hasrat dan menjadi penawar jiwa yang lelah itu. Tiba-tiba seorang pengawal datang mendekat, penjaga pintu pagar utama itu pasti membawa sesuatu yang penting, sehingga berani-beraninya mengganggu waktu syahdu kami.
“Permisi bapa, ini ada surat dari kampung,”tutur sang pengawal dengan  sopan,  hormat ala  keraton Jawa.
“Ade…terima kasih e…,ko taru saja di meja sini,”tuturku sambil merasakan nikmatnya sentuhan-sentuhan halus dari tangan sang kekasih yang kini menjalari sekujur tubuh. Saya membawa surat sambil mengandeng mantan pacarku itu menuju kamar.
Entah kenapa, saya punya firasat buruk terhadap isi surat itu. Dugaan; surat itu berisi kisah sedih tentang mama di kampung. “Ah.. saya tidak mau lagi membuka lembaran kisah sedih. Saya tidak mau menambah kesedihanku,”gumamku. Sepuluh menit berlalu, surat itu hanya saya genggam saja, tetapi rinduku sama ibunda juga yang akhirnya membuat tanganku untuk membuka sampulnya dan mulai membacanya.
“Kepada Yang Terhormat anak kepala daerah,” mama menyapa dan memulai cerita hidupnya di kampung halaman. Saya membaca kalimat ke kalimat dan paragraf ke paragraf mengalirkan kisah mama ini.
Saya mengutip mama menulis : “Anak, ibu beserta adik-adik-mu hidup di rumah kini tidak seperti dulu, selagi ayah masih ada. Kalau dulu, kita bisa makan sehari tiga kali dengan asupan gizi yang cukup. Kini situasi berubah, makanan kami seadanya, sehari dua kali atau sekali saja tetapi mama bersyukur bersama adik-adikmu bisa makan daripada tidak sama sekali”.
Saya tertegun, berhenti membaca dan menatap surat itu lekat-lekat. Di sela-sela ingatan itu, jiwaku terbang membayangkan nasib mama. “Mengapa keluargaku mengalami nasib sial itu?Apa yang salah dengan mereka?” Saya membiarkan diriku menyoal dan melanjutkan kisah mama:
“Sayang…. mama harus mencari nafkah, sejak bapamu menghembuskan nafas karena tubuhnya tertembus timah panas dalam upacara peringatan hari hak-hak masyarakat pribumi di lapangan depan sekolahmua, beberapa tahun lalu. Apakah kamu masih ingat kisah itu?”tanya Mama.
Hatiku luluh, membisiki jiwaku untuk memberontak, ingin berteriak histeris mengungkapkan kebencian dan kesedihan di ruang itu, namun kesadaran dan imajinasiku membisik jiwa yang memberontak mengendalikan emosi untuk tidak bertindak kejam dan menangisi ayahku yang telah lama tidur karena peluru serdadu, 9 Agustus 2008 lalu.
“Saya tidak perlu menangisi ayahku tetapi menangisi dan mendoakan mereka yang kejam terhadap ayah serta mendoakan ayahku agar memperoleh pengampunan, perdamaian, keselamatan, ketenangan Jiwa dan menikmati kebahagian abadi bersama Tuhan dan dari sanalah ayah mendoakan mereka yang telah jahat kepada dirinya, yang tidak berdosa itu,”gumamku.
Saya masih mendengar mama berkisah hidup. “Sayang kami makan seadanya, itupun hasil kebun bapamu sebelum tima panas menembus tubuh, menghabisi jiwanya, dan mengambil dari hutan yang belum rusak akibat hutan yang dibabat, tambang dan kebun kelapa sawit” tulis mama.
Jiwaku kini basah oleh tangisan, hati luluh, tubuh gemetar. Getaran tubuh tidak ku tahan. Aku berusaha terus menghela nafas dan mengedalikan jiwa yang bergetar menyoal lagi nasib mama. “Setelah kebun itu dipanen habis, hutan dibabat habis, adik-adik dan mama makan apa? Bagaimana perjuangan mama untuk kebutuhan sekolah adik-adiku nanti?”
Saya berhenti merenung. Mama masih bertutur melalui surat. “Anakku…demi memenuhi kebutuhan sekolah, mama terpaksa harus menjadi ‘ayah’ sekaligus ibu bagi adik-adikmu. Mama membawa jualan di pasar mama-mama yang ada di kota Jayapura tetapi tidak mudah seorang mama Papua menjadi pedagang sayur. Mama harus berjuang mendapatkan tempat yang layak hingga berjuang merayu pembeli. Syukur, kalau ada yang mau beli. Kadang sulit karena pembeli lebih pilih ke swalayan yang tumbuh berjamur di kota ini…
Sementara, anakku sayang, perjuangan mendapatkan tempat jualan yang layak memang rasanya sulit. Mama berjuang sejak tahun 2007 sampai hari ini tahun 2014, mama masih jualan di bawah tenda dan meletakkan di atas tanah. Kalau hujan, tempat ini penuh dengan air dan kami libur jualan. Kalau itu yang terjadi, anak sudah tahu, mama tidak bisa memberi makan adik-adikmu, mama tidak bisa menyimpan uang sekolah untuk adik-adik. Sayang, itu sudah mungkin nasib mama yang malang ini.
Mama memang merasa sulit dan tidak berdaya menjalani pekerjaan jualan sayur tetapi mama bersyukur dengan bekerjaan seperti ini bisa mengumpulkan 50 ribu sehari. Penghasilan ini saja, mama bisa memenuhi kebutuhan makan bersama adik-adikmu sehari. Kalau tidak bagaimana dengan makan sehari ini, yang ada hanyalah pergumulan dan penderitaan dan akhirnya menunggu waktu ajal menjemput. Karena terus hidup seperti ini, mama jadi berpikir “Ah hidup ini tidak memihak, Allah jahat, pemerintah jahat, lebih baik mati bunuh diri saja, tetapi bagaimana nasib adik-adikmu nanti? Pergumulan mama dengan nasib adik-adikmu itu saja yang selalu menguatkan dan menabahkan mama menjalani hidup ini. Kalau jujur, mama bisa mengatakan menjalankan hidup ini dalam keterpaksaan saja”.
Saya masih mau mendengar mama berkisah tetapi mama mengahiri suratnya. “Anak, mama mau berbagi lebih banyak cerita lagi, tetapi kiranya cukup sekian dulu. Kalau terlalu banyak curhat, mama khawatir menganggu perjalananmu, selama menjadi pemimpin negeri ini. Sayang selamat memimpin negeri. Mama akan terus mendoakan anak dari balik gubuk derita ini tetapi anakku, mama hanya mau bertanya… Kenapa susah sekali anak menjawab kebutuhan kami, membangun pasar, mengungkap pembunuh bapamu yang sampai hari ini belum diadili ?
Apakah kami harus menanti sampai Tuhan datang menjawab harapan kami?”.